Rabu, 22 Juni 2011

Pembaharuan Nahwu

ILMU NAHWU: PRINSIP-PRINSIP DAN UPAYA PEMBAHARUANNYA (SEBUAH KAJIAN EPISTEMOLOGIS )
Oleh: Zamzam Afandi Abdillah
(staf pengajar pada Fak.Adab jurusan Bahasa dan sastera Arab UIN SUKA Yogyakarta)
A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Dalam al Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun memandang “Ilmu Nahwu” sebagai bagian integral dari seluruh pilar linguistik Arab (‘Ulûm al-Lisân al Arab) yang terdiri empat cabang ilmu, yakni: Ilmu Bahasa (‘Ilm al Lughah), Ilmu Nahwu (‘Ilm al Nahwi), Ilmu Bayan (‘Ilm al Bayân) dan Imu Sastra (‘Ilm al Adab).[1] Disiplin Nahwu ini pada masa formasinya sangat sederhana dan bersifat praktis. Didorong semangat rasa tanggung jawab terhadap agama, ilmu Nahwu dimaksudkan sebagai pelurusan terhadap bacaan-bacaan bahasa Arab (terutama ayat-ayat al-Qur’an) yang dianggap menyalahi bacaan konvensional. Kesalahan-kealahan bacaan tersebut dalam tradisi bahasa dan bangsa Arab disebut “al-Lahn”[2], yaitu kekeliruan dalam berbahasa yang karenanya telah dianggap tidak fasih lagi.
Adalah Abu Aswa al-Du’ali, seorang hakim di kota Bashrah, Irak, pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib merasa prihatin terhadap semakin maraknya lahn. Abu Aswad yang juga sebagai ahli qira’at (min ahl al-qurrâ, ahli dalam seni baca al-Qu’an) tentu merasa sangat bertanggung jawab untuk menjaga al-Qur’an dari pengaruh lahn. Oleh karena itu, dia mulai merumuskan tanda-tanda bacaan tertentu untuk mempertahankan bacaan yang mutawatir sanadnya. Dalam hal ini bacaan al-Qur’an yang ditulis pada masa khalifah Utsman bin Affan (al-Mushaf al-Utsmâni).
Tanda-tanda bacaan yang dirumuskan oleh Abu Aswad ini sangat sederhana, yakni hanya berupa “titik-titik”. Titik dibagian atas sebuah huruf, titik dibagian bawah huruf, dan titik dibagian kiri-atas sebuah huruf.[3] Titik-titik pada huruf inilah yang kemudian hari dikenal dengan istilah “al-fathah, al-Kasrah dan al-Dhammah”, kemudian pada periode perkembangan Nahwu, dalam arti yang sebenarnya, fathah, kasrah dan dhammah menjadi bagian yang terpenting dalam pembicaraan ilmu Nahwu tersebut, yaitu dijadikan sebagai tanda-tanda i’rab (‘alâmât al-I’râb).
Ilmu Nahwu sebagaimana yang kita kenal sekarang ini yang sarat dengan berbagai aturan dan teori meupakan hasil dari sebuah proses yang cukup panjang dalam sejarah linguistik Arab. Dimulai dengan kegiatan kodifikasi dan sistemisasi kosakata bahasa Arab yang cukup menyita waktu, barulah para ahli bahasa (al-Lughawiyyûn, linguist) membangun dan meletakkan prinsip-prinsip dasar aturan bahasa tersebut.[4] Prinsip-prinsip dasar nahwu pada mulanya bersifat sangat sederhana[5] kemudian berkembang menjadi sebuah “ilmu” yang sangat pelik dan rumit. Nahwu tidak lagi sekedar berfungsi sebagai aturan atau tatabahasa yang bersifat deduktif, tetapi juga telah menjadi (salah satu) instrumen memahami al-Qur’an itu sendiri yang pada gilirannya memunculkan banyak teori nahwu yang dikembangkan oleh para ahli nahwu (nuhât, grammarian). Hal ini tentu, paling tidak menurut hemat penulis, justeru semakin mempersulit memahami dan mempelajari ilmu Nahwu itu sendiri.
Teori-teori nahwu ini kian tambah rumit setelah ilmu ini juga dikembangkan oleh para teolog (al-Mutakallimûn) dan juga para filosof (al-Falâsifah) yang berupaya memasukkan prinsip-prinsip logika dan rasionalitas ke dalam ilmu nahwu.[6] Kesan rumit dan pelik ini diperparah lagi dengan munculnya aliran-aliran dalam nahwu; aliran Basharh, Kufah, Bagdad dan Andalusia yang masing-masing memiliki karakter dan mengembangkan prinsip-prinsipnya sendiri
B. RUMUSAN MASALAH.
Bertitik tolak dari uraian di atas dan dengan asumsi Nahwu sebagai “ilmu” yang telah mencapai titik sempurna dalam pembentukannya (nadhaja wa ikhtaraqa) dan berbagai kritik atas telah mandeknya perkembangannya, maka masalah yang harus diselesaikan dan dijawab dalam penelitian ini adalah:
1.Prinsip-prinsip apa sajakah yang menjadi tata bangun (struktur) ilmu nahwu itu?
2. Apa yang menjadi dasar peletakan (sumber/prinsip-prinsip) ilmu nahwu tersebut?
3. Apa fungsi dari masing-masing prinsip tersebut?
4. Sejauh mana pengaruh teori atau prinsip-prinsip disiplin lain (dari tradisi
keilmuan Islam atau non Islam) terhadap teori atai prinsip-prinsip ilmu nahwu
5. Bagaimana bentuk pembaharuan ilmu Nahwu yang diupayakan oleh para ahlinya
pada masa klasik hingga yang berkembang saat ini.
6. Metode nahwu yang manakah saat ini yangpaling tepat dan kompetible untuk di-
gunakan sebagai pengajaran bahasa Arab yang tidak terjebak pada perdebatan pa-
da tataran teoretis semata, tetapi lebih menetikberatkan pada aspek aplikatifnya?.
C. TELAAH PUSTAKA
Secara teoretis, ilmu Nahwu hampir-hampir telah menjadi sebuah pengetahuan yang sangat normatif. Perkembangan disiplin ini tampaknya berhenti hingga abad pertengahan saja. Hal ini tidak berarti bahwa ilmu Nahwu telah kehilangan para peminatnya. Hanya saja kajian-kajian terhadap ilmu Nahwu sejak abad pertengahan hingga menjelang abad dua puluh hingga sekarang ini dapat dikatakan tidak atau belum melahirkan teori-teori baru yang signifikan. Berbagai karya yang terkait dengan disiplin ini pada umumnya hanya bersifat uraian lebih lanjut (syarah) terhadap karya-karya sebelumnya. Termasuk dalam tipe ini diantranya ialah kitab Syarah Ibnu Aqil, Syarah Ibnu Hamdun, Syarah al-Khudhari dan Syarah al-Dahlan. Nama-nama tersebut sekaligus menunjukkan para penulisnya (syârihnya) yang semuanya itu merupakan syarah dari kitab Alfiyah, sebuah karya monumental dalam disiplin nahwu yang ditulis dalam bentuk nadzam oleh Ibnu Maklik al-Andalusy.
Model lain karya yang terkait dengan ilmu Nahwu dan semakin membikin pelik cabang ini ialah karya-karya yang dalam tradisi keilmuan abad tengah dikenal dengan istilah “hasyiah”, yaitu penjabaran atau elaborasi lebih lanjut dari sebuah syarah. Sebuah kitab hasyiah yang cukup terkenal dalan bidang nahwu ialah Hasyiah Shubbân Ala Syarh al-Asmûni dan Hasyiah al-Hudhari ‘Ala Syarh Ibnu ‘Aqil yang merupakan elaborasi dari kitab-kitab syarah Alfiah Ibnu Malik di atas. Karya-karya model ini pada gilirannya melahirkan karya-karya lain yang sejenis tetapi bersifat meringkas atau mempersempit cakupan pembahasan karya-karya sebelumnya yang biasanya disebut dengan istilah Talkhîsh atau Mulakhash. Termasuk dalam tipe ini ialah kitab al-Qawâid al-Asâsiyah li al-Lughah al-‘Arabiyyah karya Sayyid Ahmad al-Hasyimi yang merupakan ringkasan atau penyimpulan dari tiga kitab nahwu, yaitu; kitab Mughni al-Labîb, karya Ibnu Hisyam, kitab Syarah Ibnu Aqil dan Syarah Hasyiah al-Asymuni, juga kitab al-Mulakhas Qawâid al-Lughah al-‘Arabiyah, karya Fuad Nikmah.
Dari ketiga tipe (syarah, hasyiah dan talkhis atau mulakhas) di atas, konsentrasi karya-karya dalam cabang nahwu tersebut memiliki karakter yang tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnyaý, yaitu penjabaran, penjabaran atas penjabaranýýý, dan ringkasan dari keduanya itu. Tidak satupun dari tipe karya-karya tersebut yang berusaha mengungkapkan atau merumuskan prinip-prinsip ilmu nahwu itu sendiri secara mendasar. Namun demikian, dapat ditemukan satu-dua karya yang memiliki kesadaran perlunya penyederhanaan dan mempermudah pembelajaran ilmu nahwu. Contoh paling tepat karya cabang nahwu yang memiliki kesadaran teoretis tersebut adalah kitab “al-Radd ‘alâ al-Nuhât”, karya Ibnu Madha’ al-Qurthubi, seorang pakar nahwu dari Cordoba (Qurthubah), Spanyol. Meskipun kitab tersebut belum secara jelas merumuskan prinsip-prinsip atau teori ilmu nahwu secara sistematis, tetapi ada beberapa bagian teori cabang ini yang pernah dikembangkan sedemikian rupa oleh para grammarian sebelumnya menjadi sasaran kritik dan penolakan oleh Ibnu Madha’.
Teori-teori (prinsip-prinsip) nahwu yang mendapat kritikan tajam Ibnu Madha’ antara lain ialah seputar pembahasan tentang “’Amil dan Qiyas” yang dielaborasi sedemikian rupa oleh para ahli nahwu pada umumnya. Karya Ibnu Madha’ tersebut dipercaya banyak kalangan telah memberi inspirasi perlunya pembaharuan ilmu nahwu seperti yang mulai digagas pada abad duapuluh yang lalu. Buku “Tajdîd al-Nahwi” karya Syauqi Dhaif, seperti diakui penulisnya sendiri sebagai adalah follow up atau tindak alanjut dari apa yang diusulkan oleh Ibnu Madha’ tersebut, juga disusul kemudian oleh Amîn al-Khli dalam karyanya “Manâhij al-Tajdîd fî al-Nahwi wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab”.
Tetapi apa yang dilakukan baik oleh oleh Syauqi maupun al-Khûli ini masih sebatas pada upaya-upaya menyeleksi beberapa bagian teori dalam nahwu yang dianggap kurang urgen, dan, sekali lagi, belum menyentuh hal-hal yang paling mendasar. Kajian ilmu nahwu yang lebih komprehensif dan telah mulai mengarah pada upaya merumuskan prinsip-prinsipnya dilakukan oleh Tamam Hasan. Ada dua karyanya, sejauh penulis jangkau, yang ditulis Tamam terkait dengan bidang nahwu. Pertama dalam bukunya:”al-Lughah al-Arabiyyah: Ma’nâha wa Mabnâha”, kedua, “al-Ushûl : Dirâsah Epistimolojiyyah li al-Fikr al-Lughawi Inda al-Arab” . Kedua karya, terutama buku yang disebut terkahir, secara khusus berupaya mencari prinsip-prinsip dasar nahwu dan proses terjadinya hal-hal yang berkaitan dengan semua aturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada karya-karya linguistik Arab termasuk di dalamnya nahwu, fiqh al-Lughah dan balaghah. Hanya saja apa yang dikaji oleh Tamam tersebut terlalu meluas dan kurang terfokus pada segi aspek teoretis ilmu Nahwu. Karenanya, penelitian ini berusaha mengkaji dan merekonstruksi berbagai prinsip atau teori yang pernah berkembang dalam disiplin nahwu (dalam segenap mazhabnya), sehingga dapat dengan jelas melihat segi kelebihan dan kekurangannya, baru setelah itu mengajukan solusi pemecahan dengan mengangkat berbagai upaya pembaharuan cabang tersebut, baik yang sudah pernah diajukan oleh para tokoh klasik maupun kontemporer.
D. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa penelitian ini berupaya mengkaji “Ilmu Nahwu” dengan tujuan untuk mengetahui dan merumuskan prinsip-prinsip umum yang berlaku pada ilmu tersebut dan melacak berbagai sumber atau asal usulnya. Karenanya, secara ringkas penelitian ini diharapkan dapat memotret dengan jelas tata bangun (body of knowledge) ilmu Nahwu. Sehingga dengannya memberi celah kemungkinan untuk melakukan rekonstruksi disiplin tersebut. Sedangkan dari segi praktis, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk meninjau kembali sistem pengajaran dan pembelajaran “nahwu” yang hingga saat ini masih dianggap sebagai momok bagi sementara para peminat bahasa Arab, khususnya dilingkungan kampus. Penelitian ini juga diharapkan memberi manfaat bagi penelitian-penelitian lebih lanjut dan lebih luas terhadap ilmu ini, tentu dalam kerangka memperkaya khazanah intelektual dibidang disiplin tersebut.
E. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (liberary research) yang termasuk dalam kategori penelitian historis tekstual mengenai naskah. Yakni suatu kajian yang berkonsentrasi terhadap isi sebuah naskah atau beberapa naskah yang ditulis oleh seorang atau sekumpulan orang di waktu tertentu di masa lewat. Obyek material dari penelitian ini adalah pikiran para tokoh yang terkait dengan naskah-naskah yang akan diteliti, dalam hal ini ialah naskah-naskah yang berkaitan dengan studi ilmu Nahwu. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan analisis-sintesis.
Metode deskriptif digunakan, terutama, untuk mendata dan melakukan inventarisasi pemikiran para tokoh nahwu dengan membaca berbagai karya mereka sendiri. Sedangkan analisis-sintesis yang dimaksud adalah meneliti dan membaca secara kritis berbagai penjelasan para tokoh nahwu dalam tulisan mereka sehingga nantinya diperoleh pemahaman mendalam mengenai persoalan-persoalan yang menjadi konsentrasi penelitian ini, yakni prinsip-prinsip dasar tatabangun (body of knowledge) ilmu Nahwu.
KERANGKA PENELITIAN
I. PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Telaah Pustaka
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
II. BAHASA ARAB: DARI A HISTORIS MENUJU HISTORIS.
A. Proses Ilmiah Bahasa Arab.
B. Faktor Pendorong Lahirnya Ilmu Nahwu
C. Aliran (mazhab) Dalam Nahwu dan Karakternya
III. PRINSIP-PRINSIP DALAM NAHWU
A. Al-Simâ’ (sima’i)
B. Al-Qiyâs
C. Al-Amil
IV. KRITIK DAN UPAYA PEMBAHARUAN NAHWU
A. Ibnu Madha’ dan Kritiknya Tehadap Ahli Nahwu(Representasi ahli nahwu klasik)
B. Upaya Pembaharuan Ibrahim Musthafa (Representasi ahli Nahwu Modern).
.
V. KESIMPULAN.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Âl, Abd, Sâlim Mukrim, al-Qurân al-Karîm wa atsaruhu Fi al-Dirâsat al-Nahwiyyah, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif), tt.
Allam, Ahmad, Abd al-Aziz, Min Târîkh al-Nahwi al-Arabi, dalam majalah “Majallah”, K.S.A. Edisi II, 1401 H/1402H.
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islâm, (Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah), 1974
Anis, Ibrahim, Min Asrâr al-Lughah, (Mesir: Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah), 1975.
Al-Afghani, Said, Min Târîkh al-Nahwi, (Beirut: Dar al-Fikr), 1978.
Al-Hasyimi, al-sayyid Ahmad, al-Qawâid al- Asâsiyah Li al-Lughah al-Arabiyyah, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama), 1980
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Takwîn al-“Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al- Wahdah al- Arabiyyah), 1980.
——————————–, Bunyat al-“Aql al-Arabi, (Beirut: Markaz Dirasat al-
Wahdah al-Arabiyyah), 1990
Al-Khuli, Amin, Manâhij Tajdîd Fi Al-Nahwi wa al-Balâghati wa al-Tafsîri wa al-Adabi, (Mesir: Dar al-Ma’rifah), 1967.
____________, ______________________________, (Mesir: al-Hai’ah al-Ammah al-Mishriyyah), 1995.
Al-Khatran, Abdullah bin Ahmad, al-Ittijhât al-Tajdîdiyyah Fi al-Dars al-Nahwiyyi, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi), tt.
Dhaif, Syauqi, Taisîr al-Nahwi al-Ta’lîmi Qadîman wa Hadîtsan Ma’a Nahji Tajdîdihi, (Mesir: Dar al-Ma’arif), 1986.
__________, al-Madâris al-Nahwiyyah, (Mesir: Dar al-Ma’arif), cet. Ke-3, 1976.
Aqil, Ibnu, Syarh ‘Ala Alfiyyah, (Mesir: Matba’ah Amin Abdul Majid al-Daidi), 1975.
Al-Anshari, Jamaluddin Ibnu Hisyam, Mughni al-Labîb, (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah),tt.
Al-Shobbân, Muhammad Ali, Hâsyiyah ‘Ala Syarh Ali bin Muhammad al-Asymûni, (Beirut: Dar al Fikr), tt.
Al-Sha’îdi, Abd al-Muta’âl, al-Nahwu al-Jadîdu, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi), tt.
Gully, Adrian, Grammar and Semantics in Medieval Arabic: A Studi of Ibnu Hisyam’s Mughni al-Labîb, (England: Curzon Press), 1995.
Hassân, Tamâm, al-Lughah al-Arabiyah: Ma’nâha wa Mabnâha, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Kitab), 1979.
——————, al-Ushûl: Dirâsah Epistimologiyyah li al-Afikr al-Arabi, (Mesir: al-Hai’ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab), 1979.
Humaidah, Mushtafa, Nidzâm al-Irtibâth wa al-Rabt Fi Tarkîb al-Jumlah al-Arabiyyah, (Mesir: al-Syirkah al-Mishriyyah al-Alamiyah li al-Nasyr), 1997.
Madhâ’, Ibnu, Kitâb al-Radd ‘Ala al-Nuhât, (Kairo: Dar al-Fikr), 1974.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar