Rabu, 28 September 2011

Naskah Melayu

Penulis: Djulianto Susantio,
Arkeolog, di Jakarta
Naskah lontar

Salah satu warisan kebudayaan nenek moyang kita yang bernilai cukup penting adalah naskah kuno (manuskrip). Di seluruh Indonesia diketahui banyak terdapat naskah kuno yang ditulis dalam berbagai aksara dan bahasa. Sebagian besar naskah masih tersimpan atau dimiliki masyarakat awam. Biasanya kepemilikan naskah bersifat turun-temurun. Sebagian lain terdapat di lembaga-lembaga pusat dan daerah, seperti Perpustakaan Nasional, perpustakaan daerah, dan lembaga-lembaga adat.

Namun disayangkan, pemeliharaan atau perawatan naskah-naskah tersebut kurang diperhatikan. Akibatnya, banyak naskah kuno yang bernilai sejarah, menjadi rusak atau kotor. Bahkan, cenderung tidak bisa dibaca lagi. Tentu saja hal demikian amat menurunkan kualitas naskah sehingga kandungan isinya menjadi berkurang.
Naskah kuno umumnya tidak mampu bertahan lama menghadapi zaman. Ini karena naskah umumnya ditulis pada bahan yang tergolong rapuh, seperti daun tal (lontar), daun nipah, bambu, kulit hewan, dan daluwang (kertas).

Kategori naskah

Dari kajian filologi diketahui naskah-naskah kuno Indonesia terbagi atas 14 kategori, yaitu (1) naskah keagamaan, (2) naskah kebahasaan, (3) naskah filsafat dan folklore, (4) naskah mistik rahasia, (5) naskah mengenai ajaran moral, (6) naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum, (7) naskah mengenai silsilah raja-raja, (8) naskah mengenai bangunan dan arsitektur, (9) naskah mengenai obat-obatan, (10) naskah mengenai arti perbintangan, (11) naskah mengenai ramalan, (12) naskah susastra, (13) naskah bersifat sejarah, dan (14) naskah mengenai perhitungan waktu (Trigangga, 2000).
Sebagai sumber tertulis dari zaman lampau, seharusnya naskah merupakan sumber sejarah yang patut kita diperhatikan. Memang, kekurangan utama naskah dibandingkan sumber tertulis lainnya seperti prasasti adalah naskah jarang menyebutkan nama pengarang dan tahun penulisannya. Yang tertera biasanya nama penyalin dan tahun penyalinannya. Namun sebenarnya naskah mampu mengungkapkan masalah-masalah di luar politik, seperti kebudayaan dan kesehatan.
Diperkirakan di seluruh Indonesia terdapat belasan ribu naskah kuno yang ditulis dalam berbagai bahasa daerah. Kendalanya adalah kita kekurangan pakar yang mampu menangani naskah. Dengan demikian kajian historiografi atas naskah-naskah kuno tersebut masih sangat sedikit. Tidak dimungkiri, banyak masyarakat awam enggan bergelut dengan naskah karena prospeknya kurang menjanjikan. Hambatan lain adalah masih belum adanya buku-buku pegangan tentang naskah kuno.
Naskah dari kulit kayu

Saat ini salah satu instansi yang paling banyak mengoleksi naskah kuno adalah Perpustakaan Nasional Jakarta. Lebih dari 10.000 naskah kuno ada di sana. Namun di sini baru sekitar lima persen naskah yang mampu dialihaksarakan dan diterjemahkan. Masalah utamanya adalah kelangkaan tenaga filolog.
Selama ini memang ilmu filologi dipandang tidak bergengsi. Penghasilan sebagai pakar filologi pun dinilai sangat kecil. Jangan heran kalau sampai kini tenaga penerjemah aksara-aksara kuno masih bisa dihitung jari tangan. Itu pun semakin tahun semakin langka karena satu per satu dari mereka mulai tua bahkan meninggal.
Keluhan serupa pernah datang dari sejumlah museum di Jawa Barat yang banyak mengoleksi naskah Sunda. Kini tenaga penerjemah naskah Sunda kuno hanya tersisa dua orang. Padahal, naskah-naskah yang perlu ditangani masih berjumlah ratusan. Sepeninggal Saleh Danasasmita, Edi S. Ekadjati, Atja, dan Ayatrohaedi memang boleh dikatakan tidak ada lagi generasi muda yang menekuni dunia filologi Sunda.

Konservasi

Tidak dimungkiri kalau sebagian terbesar naskah kuno justru masih berada di tangan warga masyarakat, seperti di kraton, tetua adat, dan keluarga. Dikhawatirkan, naskah-naskah tersebut akan rusak tergerus waktu karena ketidaktahuan masyarakat akan cara-cara perawatan.
Beberapa tahun lalu, berbagai koleksi naskah kuno di kraton-kraton Cirebon, pernah rusak dan hancur digigiti serangga, terutama ngengat. Sebagian lagi lembab karena naskah-naskah tersebut hanya disimpan di dalam peti kayu dan kopor pakaian. Ironisnya, banyak warga masih menganggap naskah kuno itu adalah barang keramat sehingga tabu untuk diperlihatkan kepada masyarakat di luar kraton atau kerabatnya.
Tentu saja prinsip-prinsip konservasi naskah belum dipahami benar oleh sebagian besar pemilik naskah. Padahal sebagai negara beriklim tropis, bahan-bahan naskah mudah rapuh dalam cuaca normal. Idealnya, barang-barang tersebut harus disimpan dalam suhu 18 derajat Celcius.
Naskah dari masa Islam

Secara umum pengguna naskah kuno dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Kelompok terbesar adalah para peneliti, penyimpan, dan penata naskah. Karena profesinya, maka mereka memerlakukan naskah dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan.
Kelompok kedua adalah perawat pusaka dan pencari petunjuk. Mereka melihat naskah sebagai benda suci.
Kelompok ketiga adalah pembuat (dari pengarang hingga penyalin) naskah, yang dapat mempunyai berbagai motivasi, seperti komersial dan spiritual (Edi Sedyawati, 2006).
Naskah terbanyak di Indonesia diduga berasal dari daerah sekitar Gunung Merapi-Merbabu. Tercatat sekitar 400 naskah kuno berhasil dikumpulkan dari sebuah padepokan ilmu.
Naskah La Galigo

Yang tergolong luar biasa, Indonesia memiliki sebuah naskah kuno dengan cerita terpanjang di dunia. La Galigo namanya, berasal dari daerah Bugis (Sulawesi Selatan). Naskah kuno berbahan kertas itu juga terbilang langka karena berbentuk seperti kaset (mempunyai dua gulungan). Banyak orang menafsirkan, naskah kuno itu merupakan ilham dari terciptanya kaset oleh bangsa Jepang. Di seluruh dunia, naskah berbentuk pita kaset hanya tinggal delapan buah. Tiga di antaranya terdapat di Indonesia, yakni satu di Perpustakaan Nasional dan dua di Sulawesi Selatan. Sisanya tersebar di beberapa negara.
Pada dasarnya naskah-naskah kuno Indonesia memiliki berbagai keunikan. Di pedalaman Sampit (Kalimantan Tengah), misalnya, pernah ditemukan sebuah Al Qur’an hasil tulisan tangan yang ukurannya hanya sebesar kotak korek api. Sementara Al Qur’an yang pernah ditemukan di Bali hingga kini masih dianggap naskah tertua di dunia.
Naskah terbanyak di Indonesia diperkirakan berupa naskah Melayu karena daerah pendukung bahasa Melayu relatif luas. Selain di Riau, Palembang, Jambi, dan sekitarnya, bahasa Melayu juga digunakan di Sulawesi dan Kalimantan.

Malaysia

Naskah kuno memiliki banyak manfaat. Selain sumber informasi berbagai jenis ilmu pengetahuan, naskah kuno merupakan kebanggaan suatu masyarakat atau daerah.
Ironisnya, manakala bangsa kita tidak memedulikan naskah-naskah kuno, tetangga kita Malaysia, justru pandai memanfaatkan peluang. Sejak bertahun-tahun lalu banyak warga Malaysia kerap berburu naskah-naskah Melayu dari beberapa wilayah Indonesia, antara lain dari Riau, Palembang, dan Jambi hingga ke Indonesia Timur.
Bahkan sejak 2002 lalu banyak budayawan Malaysia masuk keluar kampung berburu naskah Melayu. Mereka memang berambisi mendirikan Pusat Kajian Melayu terbesar di dunia. Naskah-naskah kuno tersebut mereka beli dari keluarga kerajaan/kraton atau warga masyarakat dengan harga tinggi.
Banyak pihak juga menyesalkan sikap para akademisi Malaysia yang sering melecehkan para akademisi Indonesia, misalnya terhadap hasil penelitian budayawan Tenas Effendi. Sebagian besar kerja kerasnya bertahun-tahun ternyata sudah “diangkuti” ke universitas terkemuka di Kuala Lumpur. Oleh mereka lalu dibuatkan situs tersendiri. Tragisnya, ketika kita mau menggunakannya, kita justru harus membayar kepada mereka (Kompas, 12/12/2007).
Jelas, dalam berbagai hal kita masih kalah gesit. Bukan hanya perbatasan, naskah kuno pun diincar Malaysia. Mari kita bersama-sama menyelamatkan aset berharga nenek moyang kita itu.
*******
Naskah Kuno Banyak, Kajiannya Sedikit
Ketika masih kecil Heinrich Schliemann, seorang Jerman, pernah diberi hadiah sebuah buku bacaan tentang kisah Perang Troya. Selama bertahun-tahun kisah dari masa Yunani purba itu terngiang-ngiang di telinganya. Menurut anggapannya, kisah Perang Troya bukanlah dongeng semata. Harus ada kenyataan di balik semua itu.
Mulailah dia mengumpulkan uang untuk membuktikan kebenaran pendapatnya. Terutama setelah dia menjadi bankir. Dibantu sejumlah keluarga dan temannya, dia kemudian berangkat ke Yunani, menuju tempat yang diperkirakan sebagai letak kota Troya.
Di sana, bukit demi bukit dia gali. Akhirnya dari sebuah timbunan tanah, muncul sedikit demi sedikit batu-batu kuno. Itulah benteng kota Troya. Schliemann menemukan letak kota itu pada 1870-an.
Dari kisah itu kiranya jelas bahwa naskah (manuskrip), dibantu tradisi lisan atau cerita rakyat, sebenarnya memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Di Indonesia, peranan naskah yang demikian besar juga pernah disadari oleh ilmuwan-ilmuwan pionir, seperti Muhammad Yamin, yang pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Pengajaran di era Presiden Soekarno.
Setelah membaca naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca dari kerajaan Majapahit (abad ke-14), Yamin menyimpulkan bahwa sebelum terbentuknya NKRI, di wilayah Nusantara pernah ada dua negara kesatuan besar, yaitu Sriwijaya yang bercorak maritim dan Majapahit yang berciri agraris. Pendapat Yamin masih diikuti banyak kalangan hingga kini. Apalagi banyak pakar menganggap Nagarakretagama merupakan naskah nonfiksi terbaik sebagai sumber sejarah (Ayatrohaedi, 1990).
Tidak dimungkiri, karena keotentikannya dianggap bagus maka kisah sejarah berbagai daerah juga disusun berdasarkan naskah-naskah kuno. Naskah Carita Parahyangan merupakan sumber untuk penulisan sejarah Sunda. Babad Tanah Jawi, meskipun mengandung mitologi, dianggap babonnya kisah sejarah Jawa. Hikayat Banjar menjadi dasar penyusunan sejarah Banjar (Kalimantan Selatan). Sejarah Malayu untuk sejarah daerah Melayu (mencakup Riau dan sekitarnya). Begitu pula dengan Hikayat Aceh, Kronik Maluku, Babad Lombok, dan sebagainya yang berkenaan dengan sejarah masing-masing daerah.

Kritik

Kini di seluruh Indonesia terdapat belasan ribu hingga puluhan ribu naskah kuno. Namun disayangkan, kajian historiografi atas naskah-naskah kuno tersebut masih amat sedikit. Padahal. lewat hasil kajian filologi, naskah-naskah tersebut akan mampu merekonstruksi masa lampau masyarakat dalam berbagai aspeknya.
Banyak naskah dipercaya mengandung data sejarah yang akurat. Karena itulah digunakan sebagai acuan oleh para filolog dan arkeolog. Filologi dan arkeologi memang mempunyai jenis data utama yang berbeda, namun keduanya sering kali bertemu dalam suatu kepentingan.
Filologi umumnya memelajari teks atau sumber tertulis. Sementara arkeologi meneliti artefak atau sumber tak tertulis. Namun karena suatu teks selalu dituliskan pada benda tertentu, maka terjadilah pertemuan keduanya. Hal ini terlihat nyata pada epigrafi, yakni ilmu yang memelajari prasasti.
Naskah sebagai artefak kemudian mendapatkan perhatian serius. Hal ini diwujudkan dengan mengemukanya bidang perhatian khusus dalam ilmu pernaskahan yang disebut Kodikologi. Demikian pula variasi-variasi kecil dalam bentuk huruf diberi perhatian khusus dalam penggarapan naskah-naskah, untuk dilihat kemungkinannya bahwa variasi-variasi itu adalah fungsi dan perbedaan tradisi wilayah, masa, atau penguasa (Edi Sedyawati, 2006).
Dalam beberapa kasus, filologi memang amat berhubungan erat dengan arkeologi dan sejarah. Teks-teks kuno, terutama yang telah melalui garapan para ahli filologi, dapat membantu para peneliti arkeologi yang memelajari benda-benda budaya tinggalan dari masa yang sama atau berdekatan dengan teks-teks itu.
Pemanfaatan terbesar adalah dalam rangka identifikasi rangkaian relief cerita yang terdapat di candi-candi. Banyak teks Jawa Kuno yang telah dijadikan sandaran untuk upaya identifikasi tersebut.
Teks-teks sastra kuno pada dasarnya memberikan sumbangan berarti bagi pengetahuan ikonografi (seni arca kuno) berkenaan dengan penggambaran visual para tokoh. Sebaliknya, pengetahuan arkeologi khususnya ikonografi, dapat pula memberikan sumbangan pada ilmu pernaskahan. Terlebih dalam memberikan terjemahan yang tepat pada kata-kata yang sebenarnya merupakan semacam istilah teknis dalam konteks ikonografi.

Rekonstruksi

Sejumlah teks mampu memberikan gambaran mengenai peri kehidupan di zaman teks tersebut ditulis. Data semacam itu amat berguna untuk memberikan gambaran rekonstruksi yang lebih lengkap apabila dipadukan dengan temuan-temuan kepurbakalaan sezaman (Sedyawati, 2006).
Di Indonesia tradisi pernaskahan pernah hidup dalam berbagai suku bangsa. Masing-masing memiliki sistem aksara yang khas, termasuk media penulisannya. Dari ribuan naskah kuno yang sudah sampai ke tangan kita, masing-masing memiliki keunikan, yakni setiap daerah memiliki materi yang berlainan untuk menulis naskah.
Naskah-naskah dari Jawa umumnya ditulis di atas daun tal (lontar). Naskah Batak ditulis di atas kulit kayu yang kemudian diberi tali pengikat dan ditutup dengan kayu berukir. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah kertas (daluwang), bambu, tulang binatang, kulit binatang, labu hutan, rotan, dan daun nipah.
Karena kurang perhatian masyarakat dan pemerintah, naskah (kuno) telah menjadi sumber sejarah yang terabaikan. Untuk itu kita semua harus menyelamatkan seluruh khasanah pernaskahan dari kepunahan atau kerusakan. Saolnya, kemungkinan besar isinya masih mempunyai relevansi dengan masa kini.
(Sumber foto: internet)